Beberapa Keringanan Ketika Berpergian.
Pertama, diperbolehkan bagi musafir untuk tidak berpuasa jika mengalami kesulitan untuk berpuasa ketika safar. Jabir bin ‘Abdillah mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar melihat orang yang berdesak-desakan. Lalu ada seseorang yang diberi naungan. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Siapa ini?” Orang-orang pun mengatakan, “Ini adalah orang yang sedang berpuasa.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bukanlah suatu yang baik jika seseorang berpuasa ketika dia bersafar”.[1] Di sini dikatakan tidak baik berpuasa ketika safar karena ketika itu adalah kondisi yang menyulitkan.
Namun apabila tidak mendapati kesulitan untuk berpuasa ketika safar, maka puasa ketika itu lebih afdhol karena lebih cepat terlepasnya kewajiban. Begitu pula hal ini lebih mudah dilakukan karena berpuasa dengan orang banyak tentu lebih menyenangkan daripada berpuasa sendiri nantinya.
Dari Abu Darda’, beliau berkata,
“Kami pernah keluar bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di beberapa safarnya pada hari yang cukup terik. Sehingga ketika itu orang-orang meletakkan tangannya di kepalanya karena cuaca yang begitu panas. Di antara kami tidak ada yang berpuasa. Hanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja dan Ibnu Rowahah yang berpuasa ketika itu.”[2][3]
Kedua, mengqoshor shalat yaitu meringkas shalat yang berjumlah empat raka’at (Dzuhur, ‘Ashar dan ‘Isya’) menjadi dua raka’at. Mengqoshor shalat di sini hukumnya wajib sebagaimana hadits dari ‘Aisyah,
“Dulu shalat diwajibkan dua raka’at dua raka’at ketika tidak bersafar dan ketika bersafar. Kewajiban shalat dua raka’at dua raka’at ini masih berlaku ketika safar. Namun jumlah raka’atnya ditambah ketika tidak bersafar.”[4]
Catatan: Perlu diingat bahwa mengqoshor shalat tetap boleh dilakukan walaupun safar yang dilakukan penuh kemudahan. Keringanan qoshor shalat itu ada karena melakukan safar dan bukan karena alasan mendapat kesulitan. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Allah ‘azza wa jalla melepaskan dari musafir separuh shalat.”[5]
Lihatlah, dalam hadits ini qashar shalat dikaitkan dengan safar dan bukan dikaitkan dengan kesulitan. Sehingga walaupun safar yang ditempuh penuh kemudahan, tetap masih diperbolehkan untuk mengqoshor shalat.
Ketiga, meninggalkan shalat-shalat sunnah rawatib. Sebagaimana ada beberapa dalil yang menunjukkan hal ini. Ibnul Qayyim mengatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala memberi keringanan bagi musafir dengan menjadikan shalat yang empat raka’at menjadi dua raka’at. Seandainya shalat sunnah rawatib sebelum dan sesudah shalat fardhu disyari’atkan ketika safar, tentu mengerjakan shalat fardhu dengan sempurna (empat raka’at) lebih utama.”[6]
Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masih melakukan shalat sunnah qabliyah shubuh ketika bersafar. Begitu pula beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam masih tetap mengerjakan shalat witir. Ibnul Qayyim mengatakan, “Termasuk di antara petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bersafar adalah mengqoshor shalat fardhu dan beliau tidak mengerjakan shalat sunnah rawatib qobliyah dan ba’diyah. Yang biasa beliau tetap lakukan adalah mengerjakan shalat sunnah witir dan shalat sunnah qabliyah shubuh. Beliau tidak pernah meninggalkan kedua shalat ini baik ketika bermukim dan ketika bersafar.”[7] Shalat malam, shalat Dhuha, shalat tahiyyatul masjid dan shalat sunnah muthlaq lainnya, masih boleh dilakukan ketika safar karena yang tidak nabi [8].
:: Yang Mesti Diperhatikan Ketika Safar ::
Berapa Jarak yang Sudah Dikatakan Bersafar?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan mengqoshor shalat adalah 48 mil (85 km). Sebagian lainnya berpendapat bahwa jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat adalah apabila menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan menggunakan unta.
Namun pendapat yang tepat dalam masalah ini, tidak ada batasan tertentu untuk jarak safar yang diperbolehkan untuk mengqoshor shalat. Seseorang boleh mengqoshor shalat selama jarak tersebut sudah dikatakan safar, entah jarak tersebut dekat atau pun jauh (meskipun hanya 60 km). Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak memberikan batasan dalam hal ini. Begitu pula secara bahasa, tidak disebutkan pula batasannya. Sehingga yang dijadikan patokan adalah ‘urf atau kebiasaan masyarakat setempat. Jika di masyarakat menganggap bahwa perjalanan dari kota A ke kota B sudah disebut safar, maka boleh di sana seseorang mengqoshor shalat dan boleh baginya mengambil keringanan safar lainnya. Atau yang bisa jadi patokan juga adalah jika butuh perbekalan ketika melakukan perjalanan. Inilah pendapat yang dianut oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, dan ulama Zhohiriyah.[9]
Kapan Waktu Dibolehkan Mengqoshor Shalat?
Para ulama sepakat, musafir baru boleh mengqoshor shalat setelah ia berpisah dari negerinya. Namun bolehkah ketika sudah berniat safar dan masih di rumah atau di negerinya, ia sudah mengqoshor shalat? Jawabannya, tidak boleh. Ia masih harus menunaikan shalat secara sempurna (tanpa mengqoshor). Ketika ia sudah berpisah dari negerinya, baru ia mulai boleh mengqoshor shalat. Demikianlah pendapat yang lebih tepat. Dalilnya adalah hadits Anas bin Malik, ia berkata,
“Aku pernah shalat Zhuhur bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah (masih belum bersafar, pen) sebanyak empat raka’at. Dan ketika di Dzulhulaifah, dikerjakan sebanyak dua raka’at.”[10]
Lama Waktu Seseorang Boleh Mengqoshor Shalat
Seorang musafir boleh mengqoshor shalat selama dia berada di perjalanan. Namun jika dia sudah sampai di negeri yang dia tuju dan tinggal beberapa hari di sana, berapa lama waktu dia masih diperbolehkan mengqoshor shalat?
Dalam masalah ini terdapat perselisihan pendapat di antara para ulama. Mayoritas ulama berpendapat bahwa jika berniat untuk bermukim lebih dari 4 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ulama lainnya mengatakan bahwa jika berniat mukim 15 hari, maka tidak boleh mengqoshor shalat. Ada pula ulama yang berpendapat bahwa selama 20 hari boleh mengqoshor shalat, namun jika lebih dari itu tidak diperbolehkan lagi.
Ada pula pendapat lainnya sebagaimana yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yaitu musafir boleh mengqoshor shalat terus menerus selama dia berniat untuk tidak menetap, walaupun itu lebih dari 4, 15 atau 20 hari. Pendapat terakhir inilah yang lebih kuat. Jadi, safar sebenarnya tidak dikaitkan dengan waktu tertentu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengqoshor shalat selama 18, 19, atau 20 hari, itu semua dilakukan karena beliau adalah seorang musafir.
Adapun untuk orang yang sudah menetap dan memiliki tempat tinggal permanen (seperti seorang pelajar yang merantau ke negeri orang dan menetap beberapa tahun di sana), maka kondisi semacam ini sudah disebut mukim dan tidaklah disebut musafir.[11]
Apakah Bersafar Mesti Menjamak Shalat?
Asalnya, boleh saja bagi musafir untuk menjamak shalat Zhuhur dan Ashar, atau Maghrib dan Isya’. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ ketika safar”[12]
Namun mestikah setiap bersafar harus dilakukan jamak qoshor (menggabung antara jamak dan qoshor) atau cukup qoshor saja? Sebagaimana yang telah diketahui bahwa yang diwajibkan pada musafir adalah mengqoshor shalat.
Perlu diketahui bahwa musafir itu ada dua macam. Ada musafir saa-ir yaitu yang berada dalam perjalanan dan ada musafir naazil yaitu musafir yang sudah sampai ke negeri yang ia tuju atau sedang singgah di suatu tempat di tengah-tengah safar selama beberapa lama.
Menjama’ shalat yaitu menjamak shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ boleh dilakukan oleh musafir saa-ir maupun musafir naazil. Namun yang paling afdhol (paling utama) untuk musafir naazil adalah tidak menjamak shalat. Musafir naazil diperbolehkan untuk menjamak shalat jika memang dia merasa kesulitan mengerjakan shalat di masing-masing waktu atau dia memang butuh istirahat sehingga harus menjamak. Adapun untuk musafir saa-ir, yang paling afdhol baginya adalah menjamak shalat, boleh dengan jamak taqdim (menggabung dua shalat di waktu awal) atau jamak takhir (menggabung dua shalat di waktu akhir), terserah mana yang paling mudah baginya.[13]
Tetap Shalat Berjama’ah Ketika Bersafar
Perlu diketahui, menurut pendapat yang paling kuat di antara para ulama, hukum shalat jama’ah adalah wajib bagi kaum pria. Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Adapun shalat jama’ah, aku tidaklah memberi keringanan bagi seorang pun untuk meninggalkannya kecuali bila ada udzur.”[14]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin ‘Abdillah bin Baz mengatakan, “Apabila musafir berada di perjalanan, maka tidak mengapa dia shalat sendirian. Adapun jika telah sampai negeri tujuan, maka janganlah dia shalat sendiri. Akan tetapi hendaknya dia shalat secara berjama’ah bersama jama’ah di negeri tersebut, kemudian dia menyempurnakan raka’atnya (tidak mengqoshor). Adapun jika dia melakukan perjalanan sendirian dan telah masuk waktu shalat, maka tidak mengapa dia shalat sendirian ketika itu dan dia mengqoshor shalat yang empat raka’at (seperti shalat Zhuhur) menjadi dua raka’at.”[15]
Bermakmum di Belakang Imam Mukim
Ketika seorang musafir bermakmum di belakang imam mukim (tidak bersafar atau menetap), maka dia tidak mengqoshor shalatnya. Namun dia harus mengikuti imam yaitu mengerjakan shalat dengan sempurna (tanpa diqoshor).
Dari Musa bin Salamah, beliau mengatakan,
“Kami pernah bersama Ibnu ‘Abbas di Makkah. Kemudian Musa mengatakan, “Mengapa jika kami (musafir) shalat di belakang kalian (yang bukan musafir) tetap melaksanakan shalat empat raka’at (tanpa diqoshor). Namun ketika kami bersafar, kami melaksanakan shalat dua raka’at (dengan diqoshor)?” Ibnu ‘Abbas pun menjawab, “Inilah yang diajarkan oleh Abul Qosim (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam).”[16]
Shalat Di Atas Kendaraan Ketika Bersafar
Untuk melaksanakan shalat sunnah, boleh dilakukan di atas kendaraan dan sangat baik jika awalnya menghadap kiblat walaupun setelah itu arahnya berubah[17]. Namun untuk melaksanakan shalat fardhu, hendaknya turun dari kendaraan.
Dari Jabir bin ’Abdillah, beliau mengatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melaksanakan shalat sunnah di atas kendaraannya sesuai dengan arah kendaraannya. Namun jika ingin melaksanakan shalat fardhu, beliau turun dari kendaraan dan menghadap kiblat.”[18]
Akan tetapi jika seseorang berada di mobil, pesawat, kereta api atau kendaraan lainnya, lalu musafir tersebut tidak mampu melaksanakan shalat dengan menghadap kiblat dan tidak mampu berdiri, maka dia boleh melaksanakan shalat fardhu di atas kendaraannya dengan dua syarat,
1. Khawatir akan keluar waktu shalat sebelum sampai di tempat tujuan. Namun jika bisa turun dari kendaraan sebelum keluar waktu shalat, maka lebih baik menunggu. Kemudian jika sudah turun, dia langsung mengerjakan shalat fardhu.
2. Jika tidak mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat. Namun jika mampu turun dari kendaraan untuk melaksanakan shalat fardhu, maka wajib melaksanakan shalat fardhu dengan kondisi turun dari kendaraan.
Jika memang kedua syarat ini terpenuhi, boleh seorang musafir melaksanakan shalat di atas kendaraan.[19] Sehingga dari sini tidak alasan sekali seorang musafir tidak melaksanakan shalat selama ia di perjalanan. Perkara meninggalkan shalat bukan perkara sepele. Meninggalkanya termasuk dosa besar. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Kaum muslimin tidaklah berselisih pendapat (sepakat) bahwa meninggalkan shalat wajib (shalat lima waktu) dengan sengaja adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta orang lain, zina, mencuri, dan minum minuman keras. Orang yang meninggalkannya akan mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.”[20]
Demikian beberapa kajian kami mengenai tips-tips safar dan mudik lebaran. Semoga Allah menjadi mudik kita menjadi lebih berkah dengan mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
________________________________________
[1] HR. Bukhari no. 1946 dan Muslim no. 1115
[2] HR. Bukhari no. 1945 dan Muslim no. 1122
[3] Lihat pembahasan ini di Shahih Fiqih Sunnah, 2/120-121, Abu Malik Kamal bin As Sayid As Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[4] HR. Bukhari no. 350 dan Muslim no. 685.
[5] HR. Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa-i dan Ibnu Majah. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan. Lihat Misykatul Mashobih 2025 [7].
[6] Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth, ‘Abdul Qadir Al Arnauth Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat, 1407 H, 1/298.
[7] Zaadul Ma’ad, 1/456
[8] Sebagaimana penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Majmu’ Fatawanya (15/258). Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim, serta menjadi pendapat Ibnu ‘Umar. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/490.
[9] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/479-481.
[10] HR. Bukhari no. 1089.
[11] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/482-487
[12] HR. Bukhari no. 1108.
[13] Lihat Fatawa Al Islam Su-al wa Jawaab no. 49885 pada link http://islamqa.com/ar/ref/49885 , di dalamnya terdapat penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin yang sangat bermanfaat.
[14] Ash Sholah wa Hukmu Tarikiha, Darul Imam Ahmad, Kairo-Mesir, hal. 107
[15] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, Mawqi’ Al Ifta’, 12/243.
[16] HR. Ahmad 1/216. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan.
[17] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 1/306
[18] HR. Bukhari no. 400
[19] Lihat pembahasan shalat di mobil dan pesawat di Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 21869 pada link http://www.islamqa.com/ar/ref/21869
[20] Ash Sholah, hal. 7.
Posting Komentar
tunjukkan komentar anda di sini